Orang Jepang yang belum Anda kenali (1)

Selain pekerja keras, cinta kebersihan dan keteraturan, dan semua yang hebat-hebat dari sifat orang Jepang, saya yakin tidak banyak orang Indonesia yang sudah mendengar sifat-sifat buruk mereka. Tidak hanya karena orang Indonesia yang kebanyakan (1) belum pernah ke luar negeri, (2) belum pernah berkomunikasi dengan orang luar negeri: kawan, hubungan bisnis, atau info-info mengenai luar negeri, (3) kurang membaca buku-buku yang berkaitan dengan selain negara sendiri, tetapi juga karena pada dasarnya Indonesia yang telah dijajah Belanda selama 350 tahun ini, belumlah mampu untuk move on dari pemujaan budaya asing ketimbang merasa bangga dengan budayanya sendiri.

Diberi kesempatan tinggal di Jepang selama 3 tahun (dan mungkin akan lebih), belajar di lingkungan pendidikan/universitas dan bekerja di lingkungan menengah kebawah sebagai part timer, memberikan saya banyak kesempatan untuk melihat orang Jepang dari berbagai sisi. Dan inilah, beberapa sifat orang Jepang yang mungkin belum Anda kenali (disclaimer: saya tinggal dan beraktifitas di antara Tokyo dan Kanagawa, sifat orang Jepang di luar Tokyo bisa jadi berbeda).

KEPO
Sepintas lalu, orang Jepang tampaknya sangat menghormati ruang pribadi setiap individu. Mereka membatasi secara ketat ruang publik dan ruang pribadi. Yang paling terkenal adalah sebuah ungkapan, “Honne tatte mae” 本音立って前, bahwa orang Jepang tidak menyampaikan apa isi hati mereka, tidak egois, tetapi menghormati publik, bersama publik mencapai goal bersama. Itu menjadi semacam norma. Dalam etika bertamu, tidak akan pernah ada yg berani bertamu tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Tambahan lg, di Tokyo, karena banyak orang2 yg tinggal di apartemen sempit, tidak memungkinkan mereka menerima tamu.

Dibalik itu, mungkin (mungkin) karena terlalu ketatnya pembatasan, sedangkan rasa ingin tahu orang Jepang begitu kuat, sering saya dapati mereka mengintip-intip layar smartphone orang yg duduk disebelahnya di kereta.

Pernah suatu kali, ketika saya masih tinggal bersama dg keluarga senior dr Indonesia, saya salah membaca jadwal membuang sampah. Di Jepang, sampah dibedakan berdasarkan jenis sampah & hari2nya. Sampah2 yg sizenya besar (furniture, dll) harus melaporkan kpd kelurahan & membayar sejumlah uang. Karena sy tidak tau, saya membuang koper di tempat sampah publik. Saat itu sekitar sepi, tidak ada yg datang menasehati saya. Tetapi malamnya, adik senior saya dilapori tetangga, dinasehati, “temannya salah buang sampah tuh, besok lagi jangan ya”.

Dari pengalaman itu saya mengerti, diam2 para tetangga2 mengawasi kita, apa yg kita lakukan (hihihi kaya dewa).

DISKRIMINATIF

Sama juga dengan hampir semua negara non-eropa & amerika, Jepang juga memiliki kecenderungan mendiskriminasi orang2 dari ras2 tertentu. Lebih2 Jepang baru 2 abad ini saja terbuka dengan dunia luar, setelah Restorasi Meiji 1867, Jepang baru melihat begitu memukaunya budaya barat.

Kekakalahan Jepang di Perang Dunia II semakin membuat kekaguman terhadap budaya luar (terutama dari ras kaukasian) menjadi semakin kuat. Dalam keseharian banyak cerita, banyak pengalaman yg saya alami. Contohnya adalah mengenai etika dalam kehidupan sehari2. Ketika ada orang asing berpenampilan kebule-bulean berbicara terlalu keras di kereta, atau membuang sampah seenaknya di stasiun, orang-orang Jepang yg menyaksikan biasanya memaklumkan, mendiamkan saja. Sebaliknya, apabila orang asing tersebut tampak keasia2an, apalagi berwajah China, sudah pasti ditegur atau dicemooh.

REMAJANYA KURANG UPDATE TTG POLITIK DAN INFORMASI DUNIA LUAR

Di Jepang, jarang sekali saya dapati sebuah berita tentang protes mahasiswa melawan kenaikan pajak. Dalam kehidupan sehari-hari pun, tak pernah saya dengar ada keterlibatan remaja/pemuda-pemudinya dalam ranah politik.

Baru kemarin minggu, saya membaca aksi turun ke jalan oleh pendukung LGBT, tapi rata2 mereka sudah tampak tidak muda, tambahan lagi saya saksikan wajah2 kaukasian bersama mereka. Saya asumsikan, orang-orang asing inilah yang mendorong aksi tersebut.

Keseharian pemuda-pemudi Jepang begitu disibukkan oleh beberapa dari mereka: belajar, pacaran, hura-hura gaya muda, ekstrakurikuler, dan semacamnya. Tapi kegiatan keorganisasian yg mendorong mereka berpolitik kurang berkembang. Adanya organisasi student board di sekolah atau universitas hanya dimanfaatkan untuk penyelenggaraan acara,dll. Tampaknya mereka tidak dilatih untuk mampu mengambil langkah politik, bahkan untuk memperbaiki kondisi mereka sendiri.

“Indonesia itu dimana?” saya sering kali ditanyai oleh pelanggan warung yg masih remaja. Tetapi begitu saya menyebutkan “Bali” mereka kemudian mengerti letak geografis Indonesia. Kadang bahkan saya disalami dengan “Namaste”, krn orang Jepang sering salah paham Indonesia dengan Indo (India).

Sedihnya, karena mereka tidak tahu sebuah negara yang pernah bangsa mereka jajah di tahun 1945 silam. Tetapi berbeda dg pemudanya, orang2 lanjut usia begitu mencermati politik dan perkembangan berita dunia. Bapak2 yg bekerja di warung saya, Pak Kaneko, adalah fans Bung Karno, tahu bahwa Bung Karno memiliki istri di Jepang. Pak Kaneko ini saking update-nya, langsung mengonfirmasi saya sehari setelah Indonesia menyetujui proyek Shinkansen dikelola oleh China.

Baru tiga hal tentang orang Jepang yang mungkin belum Anda kenali yg bisa saya tuliskan. Karena saya masih dalam proses belajar menulis, makanya hasilnya masih ngalor-ngidul. Tapi pasti segera saya lanjutkan tulisannya dengan ide yang lain lagi. Intinya adalah sebagai seorang warga negara Indonesia, semua di dunia itu sawang sinawang, apa yang kita lihat tidak sebagus kenyataannya. Bahkan di Jepang yang tampaknya perfect, nggak perfect nya juga pasti ada.

Lega, berhasil menyelesaikan satu tulisan. 🙂

Leave a comment